Menyiapkan yang Terbaik untuk sebuah Deadline
Setiap harinya, bisa jadi kita berkejaran dengan dengan deadline pekerjaan. Ada titik terjauh yang akan terlampuai oleh manusia, yang menghubungkan antara hidup dan kematian, antara proses memilih dan dan proses menerima. Garis ini memang sebuah batasan, tapi tidak ada yang dapat menduga, mengukur dan tidak ada negosiasi bahkan hanya untuk sepersekian detik saja, dan itulah ajal.
Bergulirnya waktu memaksa kita semakin mendekat kepada ajal, sebuah deadline bagi segenap amal yang bisa dilakukan, sebuah pengembaraan yang menuju titik pasti tapi tanpa kepastian kapan datangnya. Itulah yang membuat ‘deadline’ hidup dan deadline pekerjaan begitu berbeda. Andai hidup ini jelas kapan akan berakhir, dimana dan dengan cara apa, tentu ia akan lebih bisa dimanage dalam dimensi waktu yang ada. Namun tidak demikian, kita berada dalam sederet enigma kehidupan yang labil, penuh risiko bahkan bahaya yang kapan saja bisa menerkam.
Jalan hidup menuju akhir juga tak sederhana. Disana ada kebutuhan yang harus dipenuhi, ada kewajiban yang segera ditunaikan, ada janji yang harus ditepai, ada keinginan yang terus menggelayuti alam sadar kita. Ada banyak teka-teki, ada beragam misteri bahkan ada irasionalitas yang selalu harus segera dipecahkan. Mungkin, kita adalah bagian dari orang-orang yang sejatinya ada di hutan lebat, diantara semak dan tingginya pohon-pohon menjulang. Namun, Jika saat tersesat di hutan lebat, dan tak tahu arah mana yang harus ditempuh, semestinya tidak terus berjalan, atau membabat semak sana-sini.
Yang seharusnya dilakukan adalah berhenti sejenak, menghitung dimanakah sesungguhnya posisi dirinya berada, menengadah ke langit mencari cahaya mentari atau rembulan, menunduk ke bumi mengukur bayang-bayang diri. Baru setelah itu menentukan kembali arah yang harus dituju, lalu berjalan penuh hati-hati, sembari terus mengukur bayang-bayang. Penjelajah yang sejati tahu kapan harus bergerak, berhenti dan beristirahat.
Jika kita tersesat dalam kesibukan yang tak tahu mengapa melakukan apa. Semestinya kita juga berhenti sejenak. Membuka peta diri, merujuk kembali pada tujuan besar hidup, lalu meniatkan hati untuk melangkah
Komentar
Posting Komentar